Generasi Emas Produktif, Indonesia Siap di Tahun 2045
Bagaiaman kondisi ekonomi di usia Negara Indonesia genap 100 Thn atau 1 Abad ? ...
Pasti semua masih gencar memberikan prediksinya, bai riset secara perekonomian ataupun secara kependudukan. Namun kita hanya bisa merencanakan dan memprediksinya.
Ternyata saat Indonesia genap berusia 100 tahun, telah menjadi salah satu alasan munculnya ide, wacana dan gagasan tentang Generasi Emas 2045. Istilah ini digaungkan tanpa sebab, pasalnya ada satu harta karun yang sejatinya bisa menjadi modal untuk kelangsungan bangsa dan negara ini kedepannya, bernama bonus demografi. Pada tahun 2045, Indonesia akan mendapatkan bonus demografi yaitu jumlah penduduk Indonesia 70%-nya dalam usia produktif (15-64 tahun), sedangkan sisanya 30% merupakan penduduk yang tidak produktif (usia dibawah 14 tahun dan diatas 65 tahun) pada periode tahun 2020-2045.
Pemerintah sendiri melalui dokumen Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang disusun oleh Menko Perekonomian dicanangkan bahwa Indonesia pada tahun 2025 akan menjadi negara maju, mandiri, makmur, dan adil dengan pendapatan per kapita sekitar 15000 dollar AS serta diharapkan menjadi kekuatan ekonomi 12 besar dunia. Kemudian pada tahun 2045 mendatang Indonesia diproyeksikan menjadi salah satu dari 7 kekuatan ekonomi terbesar di dunia dengan pendapatan per kapita sebesar USD47000.
Lantas, siapa yang disebut generasi micin? Akhir-akhir ini, berbagai postingan yang bersifat memamerkan kemesraan, provokatif, bully-ing, dan sebagainya sedang marak di berbagai media sosial. Oknum-oknum yang mem-posting simbol kebobrokan moral tersebut pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yakni hanya untuk mencari sensasi semata.
Sebagian orang menghubungkan fenomena tersebut dengan penggunaan micin yang juga sehari-harinya ‘menuntut’ untuk semakin banyak dipakai dalam berbagai hasil makanan agar diminati konsumernya. Sebutan “generasi micin” biasa dialamatkan pada remaja tanggung maupun anak-anak usia sekolah yang yang menuntut perhatian lebih sehingga mereka berlagak dewasa dan melakukan hal-hal di luar batas wajar mereka. Generasi inilah yang terkadang sangat meresahkan khalayak karena perbuatan mereka sedikit-banyak bertentangan dengan nilai moral yang berlaku di Indonesia.
Di samping itu, istilah micin bisa jadi merupakan gambaran sebagian besar manusia yang notabene berperan sebagai “pengguna” daripada “pencipta”. Ibarat micin yang memperkuat rasa makanan, manusia masa kini terutama pemuda tidak lebih hanya memanfaatkan dan mengembangkan teknologi yang sudah ada. Bukannya tidak ada, namun berkurangnya pemuda kekinian yang ber-inovasi untuk membuat gagasan baru. Padahal ilmuwan-ilmuwan terdahulu kebanyakan sukses di usia muda dengan berbagai penemuan maupun sesuatu yang mereka ciptakan sendiri. Namun bukan berarti hal tersebut sepenuhnya buruk, hanya saja ada perbedaan kontras antara anak zaman sekarang dengan anak generasi milenial.
Jika sudah demikian, maka pertanyaan diatas harus jawab dengan optimis bahwa Indonesia bisa menciptakan pemuda-pemudi berkualitas unggul yang mampu menjawab tantangan zaman menuju 100 tahun Indonesia. Lantas anak zaman sekarang harus ditanggapi serius perihal moral, pendidikan dan konsumsi konten dalam media online menyangkut teknologi yang semakin tak bisa lepas dari generasi muda milenial maupun Z.
Generasi Emas 2045 adalah visi mulia yang harus diemban oleh seluruh elemen masyarakat. Maka disinilah khususnya institusi pendidikan memegang peranan untuk menyiapkan masa transisi generasi muda di kemudian hari. Namun yang lebih penting adalah peran keluarga dalam menyiapkan generasi emas ini. Dengan berbasis kepada keluarga, diharapkan muncul generasi masa depan Indonesia yang memiliki kecerdasan yang komprehensif, yakni produktif, inovatif, damai dalam interaksi sosialnya, sehat, menyehatkan dalam interaksi alamnya, dan berperadaban unggul.
Namun semua ulasan di atas masih dalam kajian, belum terjadi kenyataan. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah berusaha menjadi orang yang kraetif dan inovatif serta mengurangi pemakaian yang kita rasa tidak harus kita gunakan. Mari pentingkan produksi ketimbang kita hanya jadi seorang pemakai saja.
Apalagi mirisnya generasi sekarang ini suka menghabiskan waktunya untuk bermain gadget, baik buka sosial media atapun bermain game semata. Dan hal tersebutlah yang menjadi bahan perhatian kita sebagai orang tua agar lebih mengarahkan anak kita kedalamkegiatan yang produktif dan positif.